Peranan Tauhid
dalam Etos Kerja
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu
:
Dra. Hj. Siti
Munawaroh Thowaf, M.Ag
Oleh :
Jundatur
Rohmah (1404026038)
Istiqomah (
1404026039 )
Rudi Sharudin
A. (1404026040)
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
UIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tasawuf
merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Didalam ilmu tasawuf
terdapat berbagai istilah untuk menjadikan seseorang menjadi sufi. Banyak orang
yang bingung tentang dunia tasawuf. Mereka enggan untuk terjun kedunia tasawuf
karena berbagai hal, diantaranya : lingkungan yang tidak mendukung untuk
bertasawuf, kurangnya kesadaran untuk mendekatkan diri kepada sang Kholik, juga
kurangnya pengetahuan tentang bagaimana tatacara untuk bertasawuf.
Dan makalah
ini ditulis selain untuk tugas mata kuliah akhlak tasawuf, juga bertujuan untuk
memberikan pengetahuan tentang salah satu istilah dalam dunia sufi, yaitu
maqamat. Harapan dari pemakalah, semoga dengan adanya makaah ini dapat menambah
khasanah pengetahuan pembaca serta meningkatkan minat pembaca untuk mendalami
dunia tasawuf. Semoga bermanfaat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian maqamat itu?
2.
Apa saja tahapan-tahapan maqamat?
3.
Bagaimana perbedaan pandangan sufi tentang
tingkatan maqamat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari
kata maqam, yang berarti kedudukan,
posisi, tingkatan atau kedudukan dan tahap mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba dihadapan
Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya.[1]
Maqamat juga diartikan sebagai suatu
kedudukan yg merupakan tempat-tempat persinggahan yang harus dilalui oleh
seorang sufi yang sedang berjalan menuju
Allah swt.
Dalam hal ini Al-hujwiri
mengatakan, “Sebuah maqam adalah keteguhan seseorang dijalan
spiritual(tarekat). Ia menunjukkan ketahanan dalam memenuhi apa yang telah
diyakini sebagai kewajiban hidup atas dirinya.[2]
Dengan kata lain, maqamat yaitu
suatu tahapan seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Untuk
tahapannya sendiri masing-masing sufi berbeda pendapat. Dan didalam dalam
sebuah rangkaian maqamat hanya menjadi karakteristik untuk sufi tertentu dan
tidak berlaku untuk sufi yang lain.
B.
Tahapan Maqamat
Terdapat banyak sekali
tahapan-tahapan maqamat, diantaranya pendapat dari Abu Nasr Al-sarraj Al-tusi
dalam kitab Al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh tingkatan yaitu:
1.
Al-Zuhud
Secara bahasa al-zuhud berartitidak ingin
kepada sesuatu yang
Bersifat ke duniawian. Sedangkan menurut Harun
Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Zuhud
merupakan ajaran agama yag sangat penting. Orang yang zuhud akan mampu
mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Dan orang yang zuhud lebih
mementingkan kebahagiaan akhiran yang kekal dari pada kebahagiaan dunia yang
sementara. Sebagaimana yang terungkap dalam Qs. An-Nisa’/4:77 yang berbunyi:
قُلْ مَتَاعُ
الدُّنْيَاقُلِيْلٌ وَالأّخَرَةُ خَيْرٌلَنِ اتَّقى وَلاَ تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً
(النساء: 77)
Artinya:
Katakanlah
kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (Qs. An-nisa’:77)
Dengan
berzuhud maka manusia akan terpelihara dari melakukan perbuatan jelek dan akan
melakukan perbuatan baik saja.
Sikap
zuhud sendiri menurut Harun Nasution , adalah sikap yang harus ditempuh oleh
para sufi . sikap ini dalam sejarah muncul pertama kali ketika terjadi
kesenjangan anrata kaum yang kehidupannya seherhana dengan para raja yang hidup
secara bermegah-megahan serta berbuat dosa. Muawiyah contohnya, ia adalah
seorang raja di Roma dan Persia yang setiap harinya hidup dengan kemewahan yang
ada. Dan anaknya yang bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. ada pula yang
mengatakan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Mu’awiyah dan Abbasiyah,
telah timbul pula persaingan yang tidak sehat di zaman ustman dan Ali. Dalam
keadaan tersebut, ada sahabat yang tidak ingin terlibat kemudian mengasingkan
diri.
Kemudian
munculkah sikap zahid, para zahid Kufah yang pertama kali mengkritik pakaian
sutera yang dipakai oleh golongan Mu’awiyah.
2.
Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba,
yatubu, taubatan yang
artinya kembali. Sedangkan taubat yang
dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan
kesalahan disertai janji yang
sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut, disertai dengan melakukan
amal kebaikan. Harun Nasition mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat
yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.[3]
Untuk mencapai taubat yang sebenarnya tidak cukup dengan satu kali taubat saja.
Bahkan ada kisah yang menceritakan bahwa seorang sufi samapi tujuh puluh kali
taubat baru ia dapat mencapai taubah yang sebenarnya.
Dalam
hal Sufisme yang dimaksud taubat yang sebenarnya adalah lupa pada segala hal
kecuali Tuhan. Dan orang yang bertaubat adalah orang yang cinta kepada Allah.
Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi (Aku
memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam.
Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan cara riadah (latihan dan mujahadah
(perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan
Tuhan.
Didalam
Al-qur’an banyak dijumpai ayat-ayat tentang perintah untuk bertaubat, diantaranya
Qs. An-Nur/24:31 yaitu:
وَتُوْبُوْا
اِلَى اللهِ جَمشيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْ مِنُوْنَلَعَلَكُم تُفْلِحُوْنَ (النور :
Artinya :
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Qs. An-Nur/24:31)
3.
Al-Wara’
Secara bahasa wara’ berarti saleh,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi al-wara’ berarti
meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan
haram (syubhat).[4] Sikap
menjauhi syubhat ini terdapat pada hadis Nabi saw yang berbunyi:
فَمَنِ
اتَّقَى مِنَ الشُّبْهَا تِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ مِنَ الحَرَا مِ (ر و ا ه البخارى)
Yang artinya:
Barang siapa yang dirinya jauh darisyubhat,
maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram. (HR. Bukhari)
Hadis
diatas menjelaskan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Para sufi sadar
bahwa setiap makanan, minuman, pakaian, dan hal lainnya yang haram dapat
memberi pengaruh bagi orang memakan atau memakainya. Dan orang yang sering melakukan
perbuatan haram akan keras hatinya, sulit mendapat hidayah dan ilham dari
Tuhan. Sebuah hadis juga menjelaskan bahwa manusia yang makan makanan yang
haram akan mnyebabkan nota hitam pada hatinya yang lama-kelamaan hatinya
menjadi keras.
4.
Kefakiran
Fakir secara bahasa berarti orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita.[5]
5.
Sabar
Sabar secara bahasa ialah tabah
hati. Banyak pendapat yang menjelaskan tentang pengertian sabat. Menurut Zun
al-Nun Al Mishry sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan
sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Ibn Atha berpendapat bahwa sabar artinya tetap tabah menghadapi cobaan dengan
sikap yang baik.[6]
Di kalangan sufi sabar diartikan
sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, serta
menerima segala cobaan yang ditimpakan pada kita dengan ikhlas dalam menunggu datangnya pertolongan
Allah SWT.
Sikap sabar sangat dianjurkan
didalam Al-qur’an, Allah berfirman:
فَصْبِر
كَمَا صَبَرَا ولُوا العزم من الر سل و لا تستعجل لهم (الا حقاف :)35
Artinya:
Maka bersabarlah kamu seperti
orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rosul-rosul dan janganlah kamu
meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Qs.Al-ahlaql46: 35)
Menurut Ali bin Abi Tolib sabat
ialah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari
jasad. Jadi sabar sangatlah penting dalam kehidupan manusia.
6.
Tawakkal
Secara bahasa tawakkal berarti
menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah
apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang
memandikannya, ia mengikuti semua kehendak yang memandikan, dan tidak dapat
bergerak dan bertindak.
Yang dimaksud tawakal ialah
meyakini bahwa segala ketentuan hanya berdasarkan atas ketentuan Allah. Tawakal
tempatnya didalam hati, dan usaha-usaha manusia tidak mrnghilangkan rasa tawakal
yang ada dihatinya. Seorang yang tawakal akan menyerahkan diri kepada qada dan
keputusan Allah.
Dengan bersikp tawakkal kita slalu
dalam keadaan tenang, tentram dan bersikap sabar. Perintah untuk bertawakkal
terdapat dalam Qs.Al-maidah:11 yang artinya:
“ dan bertawakkallah kamu kepada
Allah dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu bertawakkal.”
7.
Kerelaan (Ridha)
Secara bahasa ridha artinya: rela,
suka, senang. Maksudnya menerima qada dan qadar yang telah ditetapkan oleh
Allah dengan hati yang senang dan gembira.
Menurut Harun Nasution ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah, Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang
dan gembira. Mereka menerima cobaan dengan senang hati, sebagaimana rasa senang
mereka menerima nikmat.
Manusia biasanya merasa berat hati
jika diberi cobaan dengan cara diberi berbagai macam kekurangan seperti:
kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kematian dan sebagainya. Dan
orang yang mampu bertahan dalam cobaan tersebut hanyalah orang yang memiliki
sikap ridho.
C.
Perbedaan Pendapat tentang Tingkatan Maqamat
Semua sikap yang masuk dalam
maqamat sebenarnya merupakan akhlak mulia. Tak ada yang menyimpang dari aqiah. Walaupun begitu, banyak para sufi
yang berelisih pendapat tentang tingkatan maqamat, diantaranya:
ü Abu bakar
muhammad al kalabi dalam At-taarufi la mazhabi Ahl at-tasawuf berpendapat bahwa
tingkatan maqamat yaitu: Tobat, zuhud, wara, sabar. Faqr, tawadu, tawakal,
ridho, mahabah, ma’rifat.
ü Seorg sufi
persia, qusyairi menyusun sejumlah maqam : tobat, wara’, zuhud, saum, raja’.
Khauf, huzn, faqr, sabar, tawakal, dan rida.
ü Harun Nasution
berpendapat bahwa maqamat jumlahnya ada sepuluh, yaitu: taubat, zuhud, sabar
al-faqr, tawadu’,takwa, ridha, mahabbah dan ma’rifat.
ü Imam ghozali
dalam kitabnya ihya’ ulum Al-din mengatakan bahwa naqanat itu ada delapan,
yaitu: Al-taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ma’rifat dan ridha.
ü At-Thusi
mengatakan tujuh dengan urutan berikut :At-Taubah, Al-Waro, Azuhud,Al-Fiqr,
At-Tawakal, Asshobru, Arridho.
ü Al-quraisyi
misalnya mengatakan enam dengan urutan : At-Taubah, Al-Waro, Azuhud,
At-Tawakal, Asshobru, Arridho.
Walaupun para
sufi berbeda-beda dalam menentukan maqamat, namun ada maqamat yang disepakati,
yaitu taubat zuhud, wara’ al faqr, sabar, tawakkal, dan ridha. Sedangkan
tawadu’, mahabbah dan ma’rifat sebagian pendapat menyebutnya sebagai maqamat,
dan sebagian yang lain menyebutnya sebagai hal dan ittiihad (tercapainya wujud
kerohanian dengan Allah SWT.
BAB III
KESIMPULAN
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam
yang berarti kedudukan, posisi, tingkatan atau kedudukan dan tahap mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat
seseorang hamba dihadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya.
Dengan kata
lain, maqamat yaitu suatu tahapan seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Untuk tahapannya sendiri masing-masing sufi berbeda pendapat. Dan
didalam dalam sebuah rangkaian maqamat hanya menjadi karakteristik untuk sufi
tertentu dan tidak berlaku untuk sufi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Samsul Munir, dkk, Kamus
Ilmu Tasawuf , Jakarta: Amzah, 2012
An-Najar Amir, Psikoterapi
Sufistik, Jakarta: Hikmah, 2002
Mujieb Abdul, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-ghazali,
Cirebon: Mizan, 2009
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf,
Jakarta: Rajawali Pers, 2012
[2]
M.abdul mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-ghazali, Cirebon:
Mizan, cirebon, 2009, hal. 293
[4]
Abuddin Nata, ibid, hlm. 199
[5]
Opcit, hlm. 200
[6]
Loc.cit, hlm.200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar